Sejarah Pacu Jalur
Di awal abad ke-17, jalur merupakan alat transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan, yakni daerah di sepanjang Sungai Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir. Saat itu memang belum berkembang transportasi darat. Akibatnya jalur itu benar-benar digunakan sebagai alat angkut penting bagi warga desa, terutama digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu, serta berfungsi untuk mengangkut sekitar 40 orang.
Kemudian muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri). Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu.
Baru pada 100 tahun kemudian, warga melihat sisi lain yang membuat keberadaan jalur itu menjadi semakin menarik, yakni dengan digelarnya acara lomba adu kecepatan antarjalur yang hingga saat ini dikenal dengan nama pacu jalur. Pada awalnya, pacu jalur diselenggarakan di kampung- kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam.
Saat itu, karena berangkat dari kemeriahan antarkampung yang sangat sederhana, maka untuk para juara lomba tidak ada hadiah yang diperebutkan, yang ada adalah acara makan bersama warga sekampung dengan menu makanan tradisional setempat, seperti konji, godok, lopek, paniaran, lida kambiang, dan buah golek. Tetapi, di beberapa kampung ada juga yang menyediakan hadiah berupa marewa (bendera kain berwarna-warni berbentuk segi tiga dengan renda di bagian tepinya), yang diberikan untuk juara satu hingga empat dengan perbedaan pada ukuran kainnya.
Jumat, 31 Juli 2009
Sejarah Pacu Jalur
Diposting oleh Peji Nopeles di 19.17 0 komentar
Label: CULTURAL
Pacu Jalur adalah sejenis lomba dayung tradisional khas daerah Kuantan Singingi Kuansing) yang hingga sekarang masih ada dan berkembang di Propinsi Riau. Lomba dayung ini menggunakan perahu yang terbuat dari kayu gelondongan yang oleh masyarakat sekitar juga sering disebut jalur. Upacara adat khas daerah Kuansing ini diselenggarakan setiap satu tahun sekali untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya pada tanggal 23—26 Agustus. Panjang perahu/jalur yang digunakan dalam lomba ini berkisar antara 25—40 meter dengan jumlah atlet 40—60 orang tiap perahu. Biasanya, festival ini diikuti oleh ratusan perahu dan melibatkan beribu-ribu atlet dayung, serta dikunjungi oleh ratusan ribu penonton baik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Konon, kegiatan lomba dayung ini merupakan warisan budaya masyarakat Kuantan Singingi yang telah berlangsung sejak tahun 1900-an. Perahu atau jalur, dahulu, sering dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai sarana transportasi untuk mengangkut hasil bumi atau pun hasil hutan. Kebiasaan menggunakan perahu inilah yang mungkin merupakan cikal bakal kegiatan Pacu Jalur. Pada zaman penjajahan Belanda, Pacu Jalur juga dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda untuk memeringati serta memeriahkan hari ulang tahun ratu mereka yang bernama Ratu Wilhelmina. Namun, semenjak Indonesia merdeka, Pacu Jalur berangsur-angsur dijadikan upacara khas untuk merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Pada awalnya, kegiatan Pacu Jalur hanya diikuti oleh segelintir masyarakat di sekitar daerah Kuantan Singingi. Namun, dalam perkembangannya, kegiatan ini banyak mendapat perhatian dan simpati dari berbagai kawasan, terutama daerah-daerah kawasan Riau dan sekitarnya serta mancanegara. Oleh karena itu, saat ini festival Pacu Jalur tidak hanya milik masyarakat Kuantan Singingi saja, melainkan telah menjadi pesta rakyat milik masyarakat Riau dan kawasan sekitarnya. Festival yang bernuasa tradisional ini telah ditetapkan masuk ke dalam Kalender Pariwisata Nasional (Major Event).
Diposting oleh Peji Nopeles di 19.10 0 komentar
Label: CULTURAL
Pneumatic Transmitter
Pneumatic Transmitter
¢ Transmitter berfungsi
mengubah sinyal mekanik atau elektrik yang dihasilkan elemen primer menjadi sinyal mekanik atau elektrik dengan harga tertentu untuk disalurkan melalui jarak yang cukup jauh.
¢ Sinyal yang dihasilkan oleh transmitter harus terkondisi pada harga terbatas menurut standar.
¢ Untuk sinyal mekanik, yang umumnya berupa sinyal pneumatik ( tekanan udara ) :
— 3 – 15 psi atau 0,2 – 1 atm
— ( 1 psi = 0.068046 atm )
[ variabel proses di industri pulp & kertas ]
¢ Tekanan
— Perbedaan tekanan di pelat orifice→ lubang “high & low pressure” → baffle bergerak → nozzle membuka / menutup → suplai udara masuk → output signal.
— Diafragma sebagai detektor untuk mendeteksi tekanan.
¢ Aliran
— Beda tekanan di tempat sebelum dan sesudah pelat orifice menyatakan besarnya aliran.
— Aliran ini memenuhi rumus V = √2. g. h
— Aliran dapat berupa uap, air, bahan kimia, liquor, pulp dsb.
¢ Tinggi permukaan ( level )
— Air, pulp dalam digester, bleach, tower, headbox, dsb.
¢ Temperatur
— Air, uap, pulp dalam tangki, storage dll.
¢ pH
¢ Konsistensi
¢ Berat Jenis
¢ Kelembaban
¢ Kadar air
[ Cara Kerja Instrumen ]
¢ Beda tekanan antara pelat oriface akan masuk melalui “high pressure” dan “low pressure”, sehingga terjadi gerakan Baffle.
¢ Gerakan ini bisa mengakibatkan membuka atau menutupnya lubang Nozzle.
¢ Akibatnya transmitter mendapat suplai udara tekan sebesar 20 psi dan menghasilkan Sinyal Pneumatik yang keluar besarnya sebanding dengan selisih tekanan yang terukur.
¢ Sinyal keluaran akan diteruskan ke elemen sekunder sehingga menggerakkan jarum penunjuk skala aliran.
¢ Nilai yang terbaca setara dengan nilai aliran pada orifice.
Diposting oleh Peji Nopeles di 18.05 0 komentar
Label: INSTRUMENT
Kamis, 30 Juli 2009
Sistim Kogenerasi Turbin Uap
Dua jenis turbin uap yang banyak digunakan adalah jenis tekanan balik dan ekstraksikondensasi. Pemilihan diantara keduanya sangat tergantung pada besarnya panas dan daya, kualitas panas dan faktor ekonomi. Titik ekstraksi steam dari turbin dapat lebih dari satu, tergantung pada tingkat suhu dari panas yang diperlukan oleh proses.
Turbin Steam Tekanan Balik
Turbin steam tekanan balik merupakan rancangan yang paling sederhana. Steam keluar turbin pada tekanan yang lebih tinggi atau paling tidak sama dengan tekanan atmosfir, yang tergantung pada kebutuhan beban panas. Hal ini yang menyebabkan digunakannya istilah tekanan balik. Dengan cara ini juga memungkinkan mengekstraksi steam dari tahap intermediate turbin uap, pada suhu dan tekanan yang sesuai dengan beban panas. Setelah keluar dari turbin, steam diumpankan ke beban, dimana steam ini akan melepaskan panas dan kemudian diembunkan. Embun kondensat kembali ke sistim dengan laju alir yang dapat lebih rendah dari laju alir steam, jika steam digunakan dalam proses atau jika terdapat kehilangankehilangan sepanjang jalur pipa. Air make-up digunakan untuk menjaga neraca bahan.
Diposting oleh Peji Nopeles di 18.43 0 komentar
Label: UAP
Cogeneration
Apakah Kogenerasi?
Keuntungan Kogenerasi
Seperti sudah digambarkan diatas, keuntungan penggunaan sistim kogenerasi adalah sebagai
berikut:
§ Meningkatkan efisiensi konversi energi dan penggunaannya.
§ Emisi lebih rendah terhadap lingkungan, khususnya CO2, gas rumah kaca utama.
§ Dalam beberapa kasus, digunakan bahan bakar biomas dan beberapa limbah seperti
limbah pengolahan minyak bumi, limbah proses dan limbah pertanian (dengan digester
anaerobik atau gasifikasi). Bahan ini akan menjadi bahan bakar pada sistim kogenerasi,
meningkatkan efektivitas biaya dan mengurangi tempat pembuangan limbah.
§ Penghematan biaya yang besar menjadikan industri atau sektor komersial lebih kompetitif
dan juga dapat memberikan tambahan panas untuk pengguna domestik.
§ Memberikan kesempatan lebih lanjut untuk membangkitkan listrik lokal yang didesain
sesuai kebutuhan konsumen local dengan efisiensi tinggi, menghindari kehilangan
transmisi dan meningkatkan fleksibilitas pada sistim penggunaan. Hal ini khususnya
untuk penggunaan baha n bakar gas alam.
§ Suatu kesempatan untuk meningkatkan diversifikasi plant pembangkit, dan menjadikan
persaingan pembangkitan. Kogenerasi menyediakan sesuatu kendaraan terpenting untuk
promosi pasar energi yang liberal.
Diposting oleh Peji Nopeles di 18.27 0 komentar
Label: UAP
Minggu, 19 Juli 2009
PT. Riau Andalan Pulp & Paper
Kutipan di atas bisa diartikan bahwa ada rentang waktu 4 tahun dimana RAPP masih akan mengambil sebagian bahan bakunya dari hutan alam. Dalam waktu yang hampir bersamaan, RAPP juga mengajukan permohonan sertifikasi produksi hutan tanaman lestari (Sertifikasi PHTL). Sepertinya RAPP ingin mengatakan bahwa tidak akan ada lagi sumber bahan baku pabrik kertas yang berasal dari hutan alam. Selain itu, terkesan juga kepercayaan diri dalam mendapatkan sertifikat lestari, untuk menjawab tuntutan konsumen dunia terhadap produk-produk industri kayu dari hutan tropis.
Monitoring Sertifikasi pengelolaan hutan tanaman yang lestari dan bebas konflik.
Konsesi hutan tanaman RAPP tersebar di empat kabupaten, sebagian besar berada di atas rawa
gambut dan beberapa sektor berdekatan dengan kawasan konservasi penting di Riau, diantaranya adalah Suaka Margasatwa Kerumutan, Suaka Margasatwa Bukit Rimbang-Bukit Baling, Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil dan Taman Nasional Tesso-Nillo (FWI, 2004. Diolah dari Peta HTI & Kawasan Konservasi, Dishut Provinsi Riau, 2003). Suaka margasatwa tersebut menjadi penting bagi pertimbangan aspek ekologis sertifikasi karena persebaran satwa hutan rawa gambut sangat terbatas dan jelas tidak bisa diabaikan begitu saja.
Awal April 2003, Sungai Kampar meluap dan menenggelamkan 1.362 bangunan yang tersebar di
39 desa di Kabupaten Kampar dan Pelalawan (Media Indonesia, 4 April 2003). Sungai Kampar merupakan muara beberapa anak sungai yang berhulu di Cagar Alam Bukit Bungkuk dan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang-Bukit Baling. Tidak bisa dibantah bahwa perilaku hidrologi berkaitan sangat erat dengan perilaku pengelolaan daerah tangkapan air terutama di kawasan hulunya, misalnya penggunaan lahan dan tutupan vegetasinya. Di sini, mungkin baru beberapa saja pertimbangan ekologis yang muncul, tetapi melihat tingkat pengaruhnya, maka mau tak mau harus menjadi bagian dari landasan pemberian sertifikat PHTL.
Beberapa catatan FWI tentang interaksi perusahaan hutan tanaman ini dengan masyarakat lokal, sepertinya bisa menjadi bahan pertimbangan aspek sosial sertifikasi di kemudian hari. Desa Kuntu, yang terletak di sebelah utara Kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang-Bukit Baling, ternyata masih menyimpan persoalan. Tanah ulayat masyarakat adat Kuntu yang digunakan PT. RAPP dikatakan seluas sekitar 1.500 hektar, masih berbeda dengan hasil pemetaan yang dilakukan masyarakat, yaitu sekitar 1.800 hektar. Perbedaan yang cukup besar untuk sebuah komunitas lokal. Persoalan lain adalah ketika masyarakat menuntut adanya biaya
pancung alas sebesar sepuluh ribu rupiah untuk setiapton kayu akasia yang ditebang dari atas tanah ulayat Kuntu, yang hingga saat ini belum ditanggapi oleh pihak perusahaan. Pancung alas merupakan suatu bentuk penggantian biaya atas hasil bumi yang diambil dari suatu wilayah adat untuk tujuan komersial, dan akan dikembalikan ke alam dalam bentuk pengelolaan (Buletin Alam Sumatera, Vol I No. 4, hal. 10). Di sekitar kawasan TN. Tesso-Nilo, pada tahun 2002 terjadi konflik lahan antara masyarakat Desa Situgal dengan PT. RAPP, tetapi bisa diselesaikan oleh BPN Kabupaten Kuantan Singingi. Kemudian perusahaan memberikan ganti kerugian berupa pembangunan balai desa dan jalan, meskipun tuntutan masyarakat atas biaya pancung alas, pembangunan rumah adat dan bantuan sapi belum terpenuhi hingga saat ini. Ada juga persoalan kecemburuan suatu desa kepada desa lain yang mendapatkan keuntungan dari adanya RAPP. Sebagai contoh masyarakat Desa Petai, mereka memperoleh fee sebesar 1.000 rupiah untuk setiap ton kayu akasia yang lewat.
Awal November 2004, di sela proses penilaian sertifikasi PHTL, ratusan karyawan PT. RAPP melakukan penyerangan terhadap masyarakat Desa Koto Baru. Mereka melakukan perusakan rumah masyarakat. Peristiwa ini menggambarkan bahwa masih ada persoalan antara perusahaan dan masyarakat lokal yang harus segera diselesaikan sebelum melanjutkan proses sertifikasi. Penilaian ketiga aspek sertifikasi di atas sebenarnya tidak lepas dari prinsip-prinsip penyelenggaraan kehutanan yang termuat dalam Pasal 2 UU No. 41 Tahun 1999. Kelima prinsip itu adalah: asas manfaat dan lestari, asas kerakyatan dan keadilan, asas kebersamaan, asas keterbukaan, dan asas keterpaduan. Dengan begitu sebenarnya tidak ada lagi hal baru yang harus disiapkan dalam proses Sertifikasi PHTL. Tentunya jika dan hanya jika kelima prinsip tersebut sudah diterapkan dengan benar dalam setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan di Indonesia.
Diposting oleh Peji Nopeles di 13.17 0 komentar
Label: RAPP