PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), perusahaan milik Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) ini didirikan tahun 1992 di bawah konglomerasi Raja Garuda Mas (RGM). Selain bergerak dalam industri pulp dan kertas, RAPP juga mempunyai konsesi hutan tanaman industri, sebagai sumber pasokan bahan baku industrinya. Pada awal berdirinya, RAPP memiliki kapasitas terpasang industri sebesar 1,3 juta ton per tahun, dan sejak tahun 2002 hingga sekarang meningkat menjadi 2 juta ton, setara dengan kebutuhan bahan baku kayu 9,5 juta m3 setiap tahunnya. Perusahaan pulp dan kertas RAPP memiliki konsesi HTI seluas 160 ribu hektar di Propinsi Riau dan bulan Oktober 2004 mendapat ijin prinsip untuk penambahan 75 ribu hektar, sehingga saat ini area konsesi hutan tanaman RAPP mencapai 235 ribu hektar.
Menurut Munoz, Manajer Lingkungan APRIL, bahan baku RAPP bersumber dari penanaman akasia di areal HTI RAPP sendiri seluas netto 192.000 hektar. Areal HTI kemitraan dengan perusahaan lain seluas 150.000 hektar serta lokasi HTR seluas 39.000 hektar. Dengan demikian RAPP telah memiliki kesatuan lahan seluas 381.000 hektar. Padahal untuk pemenuhan kapasitas 2 juta ton pulp per tahun hanya dibutuhkan 300.000 hektar. Realisasi penanaman akasia hingga September 2003 mencapai 187.000 hektar (62%) dari keseluruhan areal yang direncanakan. Diperkirakan pada tahun 2008 RAPP tidak lagi memanfaatkan Bahan Baku Serpih (BBS) dari IPK atau land Clearing hutan alam, jelasnya. (Riau Mandiri, 3 November 2003, Hal.15)
Kutipan di atas bisa diartikan bahwa ada rentang waktu 4 tahun dimana RAPP masih akan mengambil sebagian bahan bakunya dari hutan alam. Dalam waktu yang hampir bersamaan, RAPP juga mengajukan permohonan sertifikasi produksi hutan tanaman lestari (Sertifikasi PHTL). Sepertinya RAPP ingin mengatakan bahwa tidak akan ada lagi sumber bahan baku pabrik kertas yang berasal dari hutan alam. Selain itu, terkesan juga kepercayaan diri dalam mendapatkan sertifikat lestari, untuk menjawab tuntutan konsumen dunia terhadap produk-produk industri kayu dari hutan tropis.
Menjadi menarik ketika menyaksikan optimisme RAPP tersebut berlawanan dengan apa yang terjadi saat ini. Meskipun telah memenuhi ketentuanpemerintah, bahwa realisasi penanaman sekurang-kurangnya 60 % dari total areal hutan tanaman miliknya, tetapi pemenuhan bahan baku hanya mendekati 5,5 juta m3. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah, bagaimana RAPP memperoleh tambahan bahan baku sebesar 4 juta m3 untuk menghasilkan 2 juta ton pulp per tahunnya? Dari mana RAPP memiliki keberanian menaikkan kapasitas produksinya, sementara pembangunan hutan tanaman miliknya berjalan terlalu lambat (atau malah diam)? Tetapi, sertifikasi bukan hanya melulu faktor produksi. Sertifikat PHTL mensyaratkan juga faktor ekologi dan faktor sosial. Ketiga faktor ini harus terpenuhi sekaligus untuk memperoleh sebutan
Monitoring Sertifikasi pengelolaan hutan tanaman yang lestari dan bebas konflik.
Monitoring Sertifikasi pengelolaan hutan tanaman yang lestari dan bebas konflik.
Konsesi hutan tanaman RAPP tersebar di empat kabupaten, sebagian besar berada di atas rawa
gambut dan beberapa sektor berdekatan dengan kawasan konservasi penting di Riau, diantaranya adalah Suaka Margasatwa Kerumutan, Suaka Margasatwa Bukit Rimbang-Bukit Baling, Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil dan Taman Nasional Tesso-Nillo (FWI, 2004. Diolah dari Peta HTI & Kawasan Konservasi, Dishut Provinsi Riau, 2003). Suaka margasatwa tersebut menjadi penting bagi pertimbangan aspek ekologis sertifikasi karena persebaran satwa hutan rawa gambut sangat terbatas dan jelas tidak bisa diabaikan begitu saja.
Awal April 2003, Sungai Kampar meluap dan menenggelamkan 1.362 bangunan yang tersebar di
39 desa di Kabupaten Kampar dan Pelalawan (Media Indonesia, 4 April 2003). Sungai Kampar merupakan muara beberapa anak sungai yang berhulu di Cagar Alam Bukit Bungkuk dan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang-Bukit Baling. Tidak bisa dibantah bahwa perilaku hidrologi berkaitan sangat erat dengan perilaku pengelolaan daerah tangkapan air terutama di kawasan hulunya, misalnya penggunaan lahan dan tutupan vegetasinya. Di sini, mungkin baru beberapa saja pertimbangan ekologis yang muncul, tetapi melihat tingkat pengaruhnya, maka mau tak mau harus menjadi bagian dari landasan pemberian sertifikat PHTL.
Beberapa catatan FWI tentang interaksi perusahaan hutan tanaman ini dengan masyarakat lokal, sepertinya bisa menjadi bahan pertimbangan aspek sosial sertifikasi di kemudian hari. Desa Kuntu, yang terletak di sebelah utara Kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang-Bukit Baling, ternyata masih menyimpan persoalan. Tanah ulayat masyarakat adat Kuntu yang digunakan PT. RAPP dikatakan seluas sekitar 1.500 hektar, masih berbeda dengan hasil pemetaan yang dilakukan masyarakat, yaitu sekitar 1.800 hektar. Perbedaan yang cukup besar untuk sebuah komunitas lokal. Persoalan lain adalah ketika masyarakat menuntut adanya biaya
pancung alas sebesar sepuluh ribu rupiah untuk setiapton kayu akasia yang ditebang dari atas tanah ulayat Kuntu, yang hingga saat ini belum ditanggapi oleh pihak perusahaan. Pancung alas merupakan suatu bentuk penggantian biaya atas hasil bumi yang diambil dari suatu wilayah adat untuk tujuan komersial, dan akan dikembalikan ke alam dalam bentuk pengelolaan (Buletin Alam Sumatera, Vol I No. 4, hal. 10). Di sekitar kawasan TN. Tesso-Nilo, pada tahun 2002 terjadi konflik lahan antara masyarakat Desa Situgal dengan PT. RAPP, tetapi bisa diselesaikan oleh BPN Kabupaten Kuantan Singingi. Kemudian perusahaan memberikan ganti kerugian berupa pembangunan balai desa dan jalan, meskipun tuntutan masyarakat atas biaya pancung alas, pembangunan rumah adat dan bantuan sapi belum terpenuhi hingga saat ini. Ada juga persoalan kecemburuan suatu desa kepada desa lain yang mendapatkan keuntungan dari adanya RAPP. Sebagai contoh masyarakat Desa Petai, mereka memperoleh fee sebesar 1.000 rupiah untuk setiap ton kayu akasia yang lewat.
Awal November 2004, di sela proses penilaian sertifikasi PHTL, ratusan karyawan PT. RAPP melakukan penyerangan terhadap masyarakat Desa Koto Baru. Mereka melakukan perusakan rumah masyarakat. Peristiwa ini menggambarkan bahwa masih ada persoalan antara perusahaan dan masyarakat lokal yang harus segera diselesaikan sebelum melanjutkan proses sertifikasi. Penilaian ketiga aspek sertifikasi di atas sebenarnya tidak lepas dari prinsip-prinsip penyelenggaraan kehutanan yang termuat dalam Pasal 2 UU No. 41 Tahun 1999. Kelima prinsip itu adalah: asas manfaat dan lestari, asas kerakyatan dan keadilan, asas kebersamaan, asas keterbukaan, dan asas keterpaduan. Dengan begitu sebenarnya tidak ada lagi hal baru yang harus disiapkan dalam proses Sertifikasi PHTL. Tentunya jika dan hanya jika kelima prinsip tersebut sudah diterapkan dengan benar dalam setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan di Indonesia.
Source : (google.com/search)
0 komentar:
Posting Komentar